Kamis, 27 November 2014

Somewhere in Pangandaran

Agustus 2009

Gw, Amien, Putu dan Syapik, jalan-jalan lagi. Kali ini iseng jalan tanpa tujuan pasti, cuma mau ngilangin bete dan manfaatin waktu libur doang. Bingung mau kemana, kita sepakat buat ke Bandung aja yang deket. Masih jamannya ada kereta api Parahyangan yang 35 ribu, siang-siang kita menuju Bandung. Gw yang mana pernah menimba ilmu di Jatinangor dan sering main ke Bandung jadi guide mereka disini. Dengan kemampuan navigasi dan menghapal jalan gw yang cetek, begitu sampe Bandung kita langsung menuju Taman Sari dan Institut Teknologi Bandung (karena yang paling gw apal ya jalan kesini hahaha). Niatnya mau cuci mata liat cewek-cewek kampus, tapi yaa karena gw yang jadi guide, jadinya gak sesuai ekspetasi. Suasana Taman Sari dan ITB lagi sepi-sepinya, karena bertepatan dengan libur kuliah. Dan kalaupun rame juga, please deh, ini ITB, kampus teknik yang mana notabenenya didominasi sama cowok-cowok, ceweknya paling cuma segelintir.

Menjelang malam, gw ajak mereka ke daerah Dago. Kita memutuskan buat nongkrong di salah satu kafe di Dago Plaza, tempat dulu band Peterpan biasa launching album mereka (album musik loh ya, bukan album 3gp vokalisnya). Pemandangan malam hari di Dago itu seger pisan euy! Banyak cewek-cewek cakep yang lalu lalang, bikin pengen elus-elus dada, dada kita sendiri. Ngeliat suasana kayak gitu bikin kita yang ada di situ termotivasi, ceweknya cantik-cantik, cowoknya biasa-biasa aja. Kita yang pada jomblo semangat, cowok kaya gitu aja bisa dapet cewek cantik, gimana kita (langsung pada sok ganteng, padahal mah muka lagi jelek-jeleknya). Dari sana, kita iseng buat keliling Bandung naik angkot, dari ke Alun-alun sampai ke Braga. Karena ini angkot Bandung, lamanya ngetem lebih lama daripada lamanya perjalanan.

Semakin malam, kita memutuskan buat keJatinangor, numpang tidur di kosan temen gw si Dharma, sekaligus juga ngunjungin temen gw si Agus yang pada saat itu lagi ulang tahun. Paginya, setelah sarapan ala-ala anak kost, kita pergi ke Cileunyi, buat nyari bis menuju Pangandaran. Alasan kita pengen kesana, ya karena tanggung udah sampe Jatinangor sekalian aja ke Pangandaran (darimananya tanggung, Jatinangor ke Pangandaran kan masih jauh keleus!). Menjelang malam lagi, akhirnya kita sampai di Pangandaran. Disinilah salah satu bakat temen gw si Syapik ditemukan, jadi ceritanya  Syapik pengen kencing, pas nemu spot yang pas buat kencing, yaudah dia kencing (yaiyalah masak iya mandi). Selagi Syapik kencing, gw, Amien dan Putu kabur ninggalin dia yang lagi kencing, gak berapa lama Syapik menyusul kita, setelah berhasil menyusul dia kencing lagi. Terus? Apaan bakatnya? Yaa itu tuh, bisa nunda-nunda kencing sesuka-suka dia, keluarin dikit, tahan, lari, keluarin lagi (anggap aja ini suatu bakat ya).

Kebetulan gw punya temen cowok di Pangandaran, sebut aja namanya Dinda. Gw pernah sekali ke rumahnya, dan sialnya karena kemampuan menghapal jalan gw cetek, gw lupa rumahnya ada dimana. Satu-satunya tempat kenangan yang gw inget disini ya waktu gw maen PS di rental. Karena gw gak punya nomornya, jadi gw berniat nyari dia di rental, dan ternyata gak ada. Tapi gw sempet nanya sama yang lagi maen PS (nontonin mereka main dulu sih sebenernya, kayak bocah-bocah di rental yang kerjanya cuma nontonin orang maen PS), dikasihlah kisi-kisi menuju ke rumahnya. Singkat cerita, akhirnya rumahnya ketemu, dan mulai saat itu gantian Dinda yang jadi guide mencarikan kita penginapan.

Pantai Pangandaran sebenernya menurut gw biasa-biasa aja. Dan sepertinya Dinda paham, jadi besoknya kita mencoba suasana lain, yaitu menuju Kawasan Cagar Alam Pangandaran. Seperti ninja hatori, mendaki gunung lewati lembah, suasana di kawasan cagar alam ini masih asyik. Ada pantai, sungai, hutan, padang rumput, binatang-binatang liar, dan bule-bule sopan (bulenya gak pake bikini T_T). Selagi asyik bersantai, tiba-tiba ada telepon dari nomor gak dikenal, dan ternyata yang menelepon adalah Tata yang mengabarkan lagi dalam perjalanan menyusul kesini dari Sumedang. Repotnya, Tata gak ada hape, dan yang tadi barusan adalah boleh pinjem hape orang buat nelpon gw, satu-satunya nomor yang dia hafal. Singkatin aja lagi, Tata sampe juga dan kita lanjut lagi buat jalan-jalan ke pantai. Sempat ada cekcok antara gw dan Amien dengan para kera di sana. gw dan Amien dikejer gerombolan kera karena kita ngeganggu salah satu dari anak mereka. Gw lari menuju pantai, dan lalu ke hutan,eh salah, itu puisinya Rangga. Gw lari menuju laut, dan Amien lari menuju pagar pembatas Cagar Alam. Karena ada perbedaan arah, entah gimana justru gw sama Amien bertabrakan dan jatoh. Untungnya, atas kebaikan si kera, mereka berhenti mengejar ketika kita jatoh (mungkin mereka sebenarnya ngetawain gw dan Amien). Selesai main-main di Pantai, kita kembali ke penginapan. Besoknya kita pun kembali ke Jakarta.

perjalanan menuju Bandung

istirahat di salah satu taman di kawasan kampus ITB

nongkrong di Dago Plaza

di kosan Dharma bersama Agus yang lagi ultah

bersama Dharma di UNPAD

menunggu bis ke Pangandaran

di bis menuju Pangandaran

sampai di Pangandaran dan langsung minum es kelapa muda

di pantai Pangandaran

nemu rusa di pantai

tempat penginapan di Pangandaran

sunrise dari penginapan

muara di kawasan cagar alam

peraturan cagar alam

padang rumput tempat banteng-banteng biasa berkumpul

melanjutkan perjalanan

perwakilan dari banteng

menuju pantai tersembunyi

turun menuju pantai

bertemu bule-bule


melanjutkan lagi perjalanan

karang yang tergerus ombak

Syapik pose sok cool

sampai di pantai tersembunyi

di pantai tersembunyi

pantai di cagar alam

Tata udah datang, pas sunset

main di pantai

main di pantai

sunset

manjat karang

perjalanan pulang menuju terminal Pangandaran

pulang :')

By the way, thanks to Agus, Dharma, Dinda dan keluarga, serta kera-kera yang memaklumi kita, karena udah ngebantu liburan ini lancar.


Rabu, 12 November 2014

Yogyakarta, Ketula dari yang Tua

Pergantian tahun jadi rutinitas gw dan temen-temen buat jalan-jalan. Seperti biasa, kita kumpul buat ngerencanain liburan. Setelah rapat yang singkat dan gak banyak interupsi kaya anggota-anggota DPR, kita putuskan buat liburan ke Lampung. Rapat selesai, dan kita ngobrol-ngobrol seperti biasa. Kemudian tiba-tiba temen gw, Lele, datang dan bisa-bisanya ngasih usul buat ganti haluan ke Yogyakarta. Yap, karena kita masih remaja-remaja labil dan mudah dipengaruhi, akhirnya tanpa perlu rapat lagi tujuan liburan berubah ke Yogya.

Tanggal 31 Desember 2008, kita (orang-orangnya masih sama kaya yang di postingan Track Subhanallah, minus Averdy, Dicky dan Syapik) kumpul di rumah Putu. Dan si Lele, manusia yang meng-ide-kan buat ke Yogya, justru batal buat ikutan liburan kali ini. Di kereta, masih dengan kondisi kereta ekonomi yang amburadul, dipenuhi dengan orang-orang yang berperan sebagai penumpang, pedagang, pengamen, pengemis serta pegawai kereta. Saking penuhnya, kita yang awalnya dapat tiket dengan tempat duduk, karena iba dan polos, memberikan tempat duduk kita ke orang lain. Lama-lama kereta semakin penuh, saking penuhnya, sepanjang perjalanan gw gak bisa duduk biarpun udah di pembatas antar gerbong, karena buat merubah posisi pun gak bisa. Perjalanan yang menyiksa hati dan fisik. Sesampainya di stasiun Cirebon, kita semua turun buat menonton pertunjukan kembang api karena bertepatan dengan waktu pergantian tahun, sekaligus ngegerakin badan yang sedari tadi susah buat digerakkin. Pertunjukkan kembang api selesai, kami pun melanjutkan perjalanan yang menyiksa lagi.

Kereta kemudian berhenti di tengah perjalanan, entah di daerah mana, hanya ada sungai kecil dan sawah. Banyak penumpang yang langsung turun dari kereta, sebagian buat buang air mani, ralat, air seni, sebagian lagi buat rutinitas ngegerakkin badan. Di sinilah awal mula cerita legenda sang Pak Buaya, yang mana memberikan kita pelajaran untuk tidak mencela yang tua. Begini ceritanya, ada seorang bapak-bapak tulen, berwajah baik dan bijaksana, tiba-tiba melompat dari kereta untuk buang air kecil. Yaa namanya juga bapak-bapak, adegan melompat dari kereta justru berakibat bapak-bapak tersebut terpeleset dan kemudian jatuh ke sungai. "Byuur!!", gw yang cuma denger suara kaya gitu langsung kaget dan reflek bilang, "Apaan tuh? Buaya??". Otomatis kepala gw ditoyor sama ibu-ibu penjual Pop Mie yang tahu kejadiannya secara live. Kembali ke bapak-bapak tersebut, bapak-bapak tersebut jatuh ke sungai dan tubuhnya basah dengan air dan lumpur. Epiknya, ada Andy, Nanda, beserta baaaanyaaaaknyaaa penumpang kereta perwakilan dari setiap gerbong yang lagi buang air kecil di sungai tersebut. Yap, semua hening, penumpang di dalam kereta hening, penumpang yang buang air kecil hening, hanya ada pancuran air kencing yang tetap bersuara dan tidak tahu sopan santun. Dengan sigap, Andy dan Nanda langsung melanjutkan proses buang air kecil mereka biar cepat selesai, baru kemudian membantu bapak-bapak tersebut.

Suasana masih tetap hening karena iba dan berharap supaya bapak-bapak tersebut baik-baik saja dan cepat kembali ke tempat duduknya (padahal sih karena semua penumpang menahan buat gak ketawa karena gak enak masih ada bapak-bapak tersebut). Setelah diselamatkan, bapak-bapak tersebut pun berinisiatif untuk berdiri di pinggir pintu kereta buat mengeringkan pakaiannya, sementara kami, yang pada saat itu masih belum tahu akibat dari Pak 'Buaya' ini, memilih untuk tetap menahan ketawa. Kereta pun kembali berjalan. Ukak yang tidak tahu adegan Pak 'Buaya' ini karena tertidur, tiba-tiba bangun dan menanyakan kondisi kereta yang basah kepada gw, Nanda, dan mungkin ke Pak 'Buaya' juga, "Tadi ujan ye? Kok basah?". Deng! Gw dan Nanda bingung mau jawab apa, Pak 'Buaya' sepertinya lebih bingung lagi. Dan akhirnya tak ada yang menjawab pertanyaan Ukak. Sesampainya di stasiun Purwokerto, bapak-bapak tersebut pun turun karena ini adalah tujuannya. Perjalanan pun dilanjutkan, dan dangan 'jahat' dan polosnya, kita semua yang ada di kereta meluapkan tertawa kita yang sedari tadi tertahan.

Disinilah awal mula Pak 'Buaya' effect. Oh iya, semenjak bapak-bapak tersebut turun, kita semua otomatis menyebut bapak-bapak tersebut dengan sebutan Pak Buaya (maafkan aku ya, Tuhan!). Sesampainya di stasiun Yogya, kita semua langsung turun dan menuju ke stasiun Yogya yang lainnya buat membeli tiket pulang nanti, karena takut kehabisan tiket. Sesampainya di TKP, antrean panjang banget banget menanti, namun mau gak mau kita harus tetap mengantri dengan cuaca Yogya yang lagi panas-panasnya. Setelah berjam-jam mengantri, sesampainya persis di depan loket, pegawai tiket bilang kalau tiket sudah habis, dan harus mengantri lagi besoknya untuk membeli tiket pulang di tanggal yang lain. Yap, kesialan pertama akibat mencela Pak Buaya.

Hari itu bertepatan dengan tahun baru, sehingga suasana Kota Malioboro saat itu sangat ramai. Setelah gagal mendapatkan tiket pulang, kami pun memutuskan untuk mencari penginapan. Kesialan berikutnya adalah banyak penginapan yang penuh. Karena belum mendapatkan penginapan, kami istirahat dulu di angkringan sekaligus makan siang, sembari bertanya-tanya kepada penjualnya tentang penginapan yang kira-kira masih kosong. Atas rekomendasi penjual sego kucing tersebut, kami pun akhirnya mendapatkan penginapan, meski harganya sedikit mahal. Setelah mendapatkan penginapan, kami pun tidur hingga malam.

Malamnya, kami pergi menuju Jalan Malioboro dengan berjalan kaki, lalu menuju Benteng Vreideburg. Suasana Jalan Malioboro malam hari cukup asyik buat dinikmati, dengan pemandangan pedagang-pedagang, delman, serta pengamen-pengamen yang menunjukkan kreativitas bermusiknya. Di Benteng Vreideburg, kami hanya berfoto-foto. Saat foto-foto, entah kenapa Andy dan Amien berantem, yang gw inget Amien protes sama Andy yang saat itu mengambil foto dia, tapi ketika di cek hasilnya, hanya rambut Amien yang masuk frame. Amien ngambek, Andy pun ikut ngambek. Andy memutuskan untuk balik ke penginapan sendirian. Ukak yang iba melihat Andy, berlari menyusul Andy yang sedang berjalan menuju penginapan, disusul pula dengan hujan deras yang tiba-tiba datang. Drama abis, kaya di FTV-FTV, cuma sayang, tokohnya Andy dan Ukak. Sementara rombongan yang lainnya setelah selesai berteduh dari hujan, langsung menuju lokasi Kopi Joss. Enggak tau apa kenikmatan dari kopi yang ditambah arang ini, tapi yang penting rasa penasaran hilang.

Di penginapan, karena suasana liburan yang jadi gak enak karena ada yang berantem, akhirnya Amien dan Andy berbaikan. Setelah itu kami pun keluar penginapan lagi dan pergi menuju Sarkem. Yaah, jomblo-jomblo sok bandel ini lagu-laguan mau ke Sarkem, padahal setelah sampai sana kami hanya jalan nunduk aja kaya anak babi. Sarkem yang lokasinya meneluri gang-gang sempit dengan wanita-wanita yang mungkin terpaksa berlagak genit, buat remaja-remaja seperti kami justru malah terkesan menyeramkan. Suasananya yang gelap dan remang-remang, banyak laki-laki kebapak-bapakan yang ganjen, jalanan yang becek, membuat kami berjalan cepat, iya, pengen cepat-cepat keluar dari gang itu. Tapi begitu keluar gang, semuanya sok-sokan bilang "Wuih ada yang cakep tuh!", "Ada yang masih muda tuh!", berbicara seperti menikmati medan perjalanan, padahal seingat gw, di dalam semuanya hening dan nunduk. Dari Sarkem, sebagian ada yang kembali ke penginapan, sebagian lagi ada yang memutuskan jalan-jalan dengan becak, ganti-gantian sama abang becaknya.

Besok siangnya, tiket pulang sudah berhasil didapatkan. Tapi lagi-lagi ada yang berantem, kali ini antara Aicuh dan Nanda, masalah duit hilang kayaknya. Suasana liburan kembali gak enak. Mungkin akibat dari ketula mencela Pak Buaya tadi. Masalah-masalah lain juga timbul, sehingga suasana liburan semakin gak seru, sampai akhirnya kami kembali pulang ke Jakarta. Bisa dibilang, liburan kali ini agak gagal, karena tidak seperti liburan yang biasanya yang tidak ada konflik, dan isinya cuma senang-senang.

Pelajaran yang bisa diambil, karma is exist, guys! Setelah menjadikan Pak Buaya sebagai bahan tertawaan dan lawakan, justru kami yang mengalami berbagai kesialan sewaktu liburan. Kita harus bisa lebih selektif lagi dalam memilih bahan bercandaan. Hindari SARA, dan kesialan orang tua, that's the rule!

Karena judulnya bercerita, bukan catatan perjalanan, gw gak cantumin detail biaya perjalanan, rute perjalanan, suasana detail lokasi, dan sebagainya. (padahal sih karena lupa dan gak bakat)


Firework di Stasiun Cirebon

Sampai di Yogya

Langsung jalan ke stasiun berikutnya buat beli tiket pulang 

Menuju Jalan Malioboro

Tiba di Malioboro

Istirahat di angkringan

Jalan-jalan malam

Benteng Vreideburg

Rebutan masuk frame, as always.

Di Keraton

Di Bank Indonesia, Yogya

Selasa, 11 November 2014

Track 'Subhanallah'

Siapa sih yang gak seneng jalan-jalan? Siapa ya gw juga gak tau, cuma yang pasti kebanyakan orang suka sama yang namanya jalan-jalan. Banyak banget cerita jalan-jalan yang pengen gw jadiin postingan di blog ini, tapi foto-fotonya udah gak tau kemana. Kalo boleh dirangkum, tiap jalan-jalan punya kenangannya masing-masing, dan kayaknya ada jalan-jalan yang paling bikin gw berkesan banget (semuanya berkesan sih sebenernya) dan jadi titik awal hobi gw buat jalan-jalan yaitu pas ke Cianjur, tahun 2007 kayaknya. Gimana waktu itu terjalin keakraban sama temen-temen gw, dan kemudian berlanjut ke jalan-jalan berikutnya bersama mereka. Cianjur yang tadinya cuma gitu-gitu doang, malah jadi sarana wisata yang unforgettable buat gw, padahal mah cuma main di sawah, mandi di kali, main lumpur, tapi ya gitu deh, banyak serunya. Paling berkesan itu pas pergantian tahun baru 2008, tengah malamnya kita bukannya nyalain kembang api, justru malah ngelepas kunang-kunang, romantis yah, cuma sayang cowok semua :(

Kaya yang tadi gw bilang, semenjak trip Cianjur itu, gw jadi sering jalan-jalan lagi sama mereka. Bingung kan merekanya siapa? Mau gw kenalin di sini juga percuma, kaya bakal kenal aja. Nah yang mau gw ceritain di sini itu cerita jalan-jalan gw ke Lembah Salak, Bogor. Kita nyebutnya track 'Subhanallah'. Kenapa? Karena subhanallah biasa aja, subhanallah capeknya, subhanallah terpencilnya, padahal masih di kawasan Bogor.

Gw udah pernah kesini sebelumnya, bareng sama Amien, Putu, Syapik dan Andi (tuh kan gw kenalin juga jadinya). Awalnya ini adalah trip mereka berempat kecuali gw, iya kecuali gw, karena saat itu gw kaya lagi dikucilkan gitu (kayanya sih) gara-gara gw sibuk pacaran. Tapi malamnya sebelum besok berangkat, gw di ajak sama Andi buat ikutan (ceritanya Andi ini gak ada masalah sama gw). Akhirnya gw ikutan dan besoknya berangkat, dengan start awal kumpul di rumah Putu. Agak kikuk sih awalnya, tapi ya namanya juga cowok, kaya lagi gak ada konflik gitu deh pas ketemu (lah, itu mah harusnya cewek yang kaya gitu). Dan pas udah sampe sana, malamnya gw kaya disidang gitu, ditanya-tanyain kenapa begini begitu, mirip mandok hatta-nya orang batak lah. Seru sih, akhirnya masalah selesai.

Ditrip yang kedua kalinya kesana, nambah lagi personilnya yaitu Nanda, Ukak, Dicky, Aichu dan Averdy. Seperti biasa, start awal kumpul di rumah Putu, rumah paling free dan paling deket sama stasiun Tanah Abang. Berangkat pagi, gw lupa ini tahun berapa, dari stasiun Tanah Abang menuju stasiun Bogor. Di kereta gw udah langsung kena apes. Kereta lagi rame-ramenya, depan gw ada ibu-ibu yang lagi gendong anak, posisi berdiri, mau pegangan gantungan yang di atas juga gak nyampe. Gw dengan sok baiknya ngasih posisi tangan gw yang gak ada ototnya buat jadi pegangan dia. Tapi tiba-tiba kereta goyang-goyang gitu dan si ibu-ibu nabrak badan depan gw. Dengan pedenya si ibu bilang dengan suara agak kenceng ke gw, "Mas, aji mumpung yaa.." Meeen, gw di kereta malu digituin, disangka mesum gitu ke ibu-ibu itu, macam itu ibu-ibu Yuni Shara aja, padahal mah gw niat mesum ke anaknya (lah!?). Untungnya di kereta rame sama temen-temen gw, yang akhirnya dibercandain dan jadinya ya emang bercanda aja itu ibu-ibu. Tapi kalo gak ada temen-temen gw mungkin gw udah dipelototin orang sekereta kali.

suasana di kereta menuju Bogor

di angkot, masih pada alay semua

Langsung aja ceritanya biar cepet, kita bersepuluh sampe di stasiun dan langsung aik angkot menuju Lembah Salak. Gw lupa gimana rute-rutenya, pokoknya kita udah sampe aja. Begitu sampe, izin sama orang yang punya tempat buat kita inapin di atas sana.Yap, track 'Subhanallah' ini memang sejenis kaya naik gunung gitu deh, tapi bukan naik gunung beneran. Jadi pas nanti di atas sana, ada rumah kosong (beneran kosong gak ada isinya) buat tempat istirahat petani-petani gitu karena ladang mereka ada di atas sana. Setelah minta izin, kita langsung jalan ke sana. Perjalanan menuju kesana kira-kira memakan waktu 2 jam, dan menanjak dengan pemandangan jurang (jurang kok dijadiin pemandangan). Karena dari semua peserta cuma satu orang doang yang anak gunung, makanya pada ngerasa perjalanan ke atas itu capek. Yaaa dari sini juga kenapa ini kita namakan track 'Subhanallah', karena sepanjang jalan pada ngeluh 'subhanallah capeknya'. Tapi si Syapik yang jadi satu-satunya anak gunung mah tetep aja sabar dan selalu bilang bentar lagi sampe bentar lagi sampe, padahal sih gak nyampe-nyampe.

di perjalanan

hampir sampai di rumah istirahat para petani

Sampai di atas, sepi, cuma ada rumah satu itu yang tadi gw bilang, dan ladang beserta pohon-pohon liarnya. Seperti biasa, jalan-jalan kita ya emang biasa aja tempatnya. Karena gak tau mesti ngapain, jadi kita keliling-keliling aja sampe malam. Malamnya dingin memutuskan kita buat bikin api unggun. Karena dingin juga, dan sialnya cowok semua (ada cewek juga lu gak ngapain-ngapain, mblo) maka kita main-main aja gak jelas biar capek dan keringetan. Dan begitu tengah malam, abis liat pemandangan bintang-bintang, kita memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Mungkin karena kebawa suasana pemandangan bintang-bintang tadi, dan udah tengah malam juga, si Ukak yang konon otak cerdasnya dimulai dari tengah malam sampe subuh ini mulai ngomongin astronomi. Singkat aja karena gw juga gagal paham sama yang diomongin Ukak, kita semua langsung tidur.

jalan-jalan malam

main ala-ala cheerleaders

foto-foto peserta minus Syapik

rebutan masuk frame foto


Subuhnya, kita semua bangun dan memutuskan untuk ngeliat sunrise. Biar dapet view yang bagus, kita naik ke atas (yaiyalah naik ke atas, masa iya naik ke bawah). Well, kita dapat pemandangan sunrise yang bagus. Dan pada akhirnya kita menggunakan bisa kata 'subhanallah' sesuai dengan koridornya, "Subhanallah bagus banget pemandangannya!". Tapi karena ceritanya masih jaman dulu (berasa tua), kamera jaman itu masih ala kadarnya (padahal sih bawa kamera SLR, tapi skill capture fotonya masih pada ala kadarnya).

"Subhanallah sunrise-nya!"

sunrise


Siangnya, Ukak minta pulang karena ada janji sama Mamanya. Tapi kita semua sok akting gak mau pulang. Ukak akhirnya memutuskan buat pulang sendiri dan langsung cus turun dari Lembah Salak. Selang beberapa menit, kita semua langsung beres-beres dan nguntilin Ukak dari belakang. Karena bukan jam cerdasnya Ukak, sepanjang jalan Ukak terlihat bingung menentukan rute jalan pulang. Karena gak tega, akhirnya kita tetep ngumpet (lah?). Tapi akhirnya ketahuan dan yaa mau gak mau kita kasih tau rute yang benar.

Okay, mungkin ceritanya seru cuma buat yang ikut perjalanan ini aja, tapi pesan yang mau gw sampaikan adalah tidak peduli tempatnya seperti apa, medan perjalanannya seperti apa, sepanjang kita jalan sama temen-temen yang memberikan rasa kebersamaan, perjalanan apapun akan kerasa seru dan berkesan. Biasanya sih rumusnya, semakin susah perjalanan, semakin gede rasa kebersamaannya.